Senin, 01 Oktober 2012

Mozaik Impulsif



                                            
Ruangan yang membeku karena temaram lampu neon. Dinding yang membeku. Kusen yang membeku. Pintu dan jendela yang membeku. Lemari yang membeku. Rak buku yang membeku. Meja yang membeku. Televisi, laptop, kipas angin dan semua barang elektronik yang membeku. Mereka semua tak ubahnya lukisan malam yang kelam dan hanya akulah satu-satunya yang mengamati kebekuan mereka.
Detak jam dinding sudah lewat sepuluh malam namun temanku belum juga pulang. Sesekali suara gerbang rumah disampingku berteriak kemudian diam lagi disusul suara desau sepeda motor yang akhirnya membeku juga.
Malam ini bulan sabit mengintipku dari balik jendela dan sesekali angin mendesah membaw kedinginan malam. Seharusnya jam segini temanku sudah pulang dan istirahat di kasur empuk depanku ini, tapi tidak tahu juga, karena sebenarnya aku bukanlah apa-apa.
Clerk,
Pintu dibuka. Dia masuk ke dalam kamar kemudian meletakkan tasnya yang sedari tadi seperti terasa lebih berat dari biasanya. Setauku dia sudah biasa membawa buku-buku besar jika kemana-mana tetapi tidak untuk ini, didalam tas itu bukanlah buku!
Setelah dia meletangkan tubuhnya sebentar kemudian dia berdiri menghampiriku.
“Fach..”
Diam
Datar
Setelah itu ada suara lagi. Sekali lagi angin malam berhembus menyapa tiang listrik yang kedinginan diluar.
Huft…
Dia menghela nafas seakan ada masalah berat yang ada dipundaknya.
Sebenarnya aku ingin memberikan perhatian kepada dia. ‘kamu kenapa bro?’ atau sekedar berkata ‘sudahlah, tak perlu terlalu dipikirkan nanti jadi beban’ namun sayangnya, lagi-lagi aku tidak berhak untuk itu karena aku bukanlah apa-apa.
Tiba-tiba dia mengangkatku dan menyandarkanku pada dinding tempat tidur. Aku hanya bisa pasrah menerima nasibku yang akan terulang-ulang seperti biasa.
Dia mulai bercerita dan berkeluh kesah kepadaku. Dia memang orang aneh, curhat kepada hal yang tak akan mendengarkan ocehannya karena aku akan tetap diam sampai nanti sambil mengamati kebekuan jendela yang meneruskan cahaya bulan yang begitu indah. Dia tetap terus mencurahkan segala hal didepanku seperti karirnya sekarang yang sedang turun karena ada konflik internal, pendidikannya dan juga termasuk cintanya. Parahnya aku hanya bisa terdiam menatap mulutnya yang sedari tadi berkicau tak karuan, namun dari dia aku belajar banyak tentang sesosok manusia dengan perjalanan cita-cita dan cintanya.
“karena itu, sudah hampir satu tahun aku terus berusaha mendapatkan hatinya. Aku tak pernah berhenti mencintainya. Aku tak pernah berhenti memberi perhatian kepadanya namun hasilnya? Dia tetap seperti yang dulu, yang dulu-dulu dilakukan kepada laki-laki lain yang pernah mencintanya juga. Hatinya telah beku dan parahnya kebekuan itu juga berlaku untukku!”
Jika aku bisa bicara mungkin aku menghardiknya untuk tetap pantang menyerah tidak putus asa! Atu mungkin sekedar berkata “udah deh, kalau toh dia tetap tidak bisa mencintaimu berarti dia jelas-jelas rugi melepas kamu yang layak dicintai banyak wanita ini. Jangan nangis hanya karena cinta! Cemen kamu! Sudahlah, diluar sana masih banyak orang yang mencintaimu apa adanya” intinya aku akan terus berusaha membesarkan hatinya, melihatkan kemungkinan-kemungkinan positif dan membukakan matanya untuk melihat dunia yang begitu luas ini agar dia bisa berpikir lebih dewasa dan tidak mudah menyerah menghadapi hidup hanya karena gara-gara cinta, Hal absurd yang tak pernah aku pahami.
Aku hanya bisa diam. Membesarkan hatinya dengan kediamanku dan menerima takdirku untuk selalu mengikuti gerakannya. Mulutku hanya sepenuhnya berbicara seperti apa yang dia bicarakan dan semua anggota tubuhku mengikuti apa yang dia lakukan. Aku seperti boneka namun aku bukanlah boneka dan maksud hati itu tak pernah bisa kuucapkan dengan mulutku sendiri. Setelah puas dia mencurahkan segala keping luka dan masalahnya kepadaku, setelah air matanya telah kering hanya karena cinta yang tak berguna itu akhirnya dia lelah juga. Dia mulai menatapku tajam dan pandangan kita baradu pada satu titik dalam sebuah kornea mata yang perlahan membesar. Aku bisa merasakan syaraf-sayaraf otaknya yang menjalar begitu kuat seperti memikirkan sesuatu kemudian perlahan mengendor. Dia menundukkan kepalanya untuk merenung kemudian menatap mataku kembali menatap tubuhku ini yang selalu menjadi dia, selalu menjadi kamu atau siapapun yang ada didepanku.
Aku adalah bayangannya, bayangan kamu dan bayangan siapa da apa saja yang ada didepanku. Bagi dia aku adalah mozaik kehidupan yang selalu mengimpulsifkan sinyal-sinyal penyadaran. Aku adalah benda dan aku adalah bayangan siapa saja. Bayangan yang selalu memberikan semangat, memberikan penyadaran atau bahkan bisa menanamkan pikiran buruk kepada setiap orang yang berpikir buruk. Aku mengirimkan semua sinyal motivasi, kesadaran atau bahkan pikiran buruk itu kepada setiap orang yang sedang berpikir buruk dengan kediamanku, karena aku adalah mozaik impulsif kehidupan bagi siapa saja yang menganggapku bisa mempengaruhi pikiran manusia meski fungsi utamaku hanya untuk bercermin belaka. Aku adalah mozaik impulsif. Aku adalah bayangan semua orang dan aku hanyalah sebuah cermin besar yang ada dalam kamar itu.

Tidak ada komentar: