Ruangan yang
membeku karena temaram lampu neon. Dinding yang membeku. Kusen yang membeku.
Pintu dan jendela yang membeku. Lemari yang membeku. Rak buku yang membeku.
Meja yang membeku. Televisi, laptop, kipas angin dan semua barang elektronik
yang membeku. Mereka semua tak ubahnya lukisan malam yang kelam dan hanya
akulah satu-satunya yang mengamati kebekuan mereka.
Detak jam
dinding sudah lewat sepuluh malam namun temanku belum juga pulang. Sesekali
suara gerbang rumah disampingku berteriak kemudian diam lagi disusul suara
desau sepeda motor yang akhirnya membeku juga.
Malam ini
bulan sabit mengintipku dari balik jendela dan sesekali angin mendesah membaw
kedinginan malam. Seharusnya jam segini temanku sudah pulang dan istirahat di
kasur empuk depanku ini, tapi tidak tahu juga, karena sebenarnya aku bukanlah
apa-apa.
Clerk,
Pintu dibuka.
Dia masuk ke dalam kamar kemudian meletakkan tasnya yang sedari tadi seperti
terasa lebih berat dari biasanya. Setauku dia sudah biasa membawa buku-buku
besar jika kemana-mana tetapi tidak untuk ini, didalam tas itu bukanlah buku!
Setelah dia
meletangkan tubuhnya sebentar kemudian dia berdiri menghampiriku.
“Fach..”
Diam
Datar
Setelah itu
ada suara lagi. Sekali lagi angin malam berhembus menyapa tiang listrik yang
kedinginan diluar.
Huft…
Dia menghela
nafas seakan ada masalah berat yang ada dipundaknya.
Sebenarnya aku
ingin memberikan perhatian kepada dia. ‘kamu kenapa bro?’ atau sekedar berkata ‘sudahlah, tak perlu terlalu
dipikirkan nanti jadi beban’ namun sayangnya, lagi-lagi aku tidak berhak untuk
itu karena aku bukanlah apa-apa.
Tiba-tiba dia mengangkatku dan menyandarkanku pada
dinding tempat tidur. Aku hanya bisa pasrah menerima nasibku yang akan
terulang-ulang seperti biasa.
Dia mulai bercerita dan berkeluh kesah kepadaku.
Dia memang orang aneh, curhat kepada hal yang tak akan mendengarkan ocehannya
karena aku akan tetap diam sampai nanti sambil mengamati kebekuan jendela yang
meneruskan cahaya bulan yang begitu indah. Dia tetap terus mencurahkan segala
hal didepanku seperti karirnya sekarang yang sedang turun karena ada konflik
internal, pendidikannya dan juga termasuk cintanya. Parahnya aku hanya bisa
terdiam menatap mulutnya yang sedari tadi berkicau tak karuan, namun dari dia
aku belajar banyak tentang sesosok manusia dengan perjalanan cita-cita dan
cintanya.
“karena itu, sudah hampir satu tahun aku terus
berusaha mendapatkan hatinya. Aku tak pernah berhenti mencintainya. Aku tak
pernah berhenti memberi perhatian kepadanya namun hasilnya? Dia tetap seperti
yang dulu, yang dulu-dulu dilakukan kepada laki-laki lain yang pernah
mencintanya juga. Hatinya telah beku dan parahnya kebekuan itu juga berlaku
untukku!”
Jika aku bisa bicara mungkin aku menghardiknya
untuk tetap pantang menyerah tidak putus asa! Atu mungkin sekedar berkata “udah
deh, kalau toh dia tetap tidak bisa mencintaimu berarti dia jelas-jelas rugi
melepas kamu yang layak dicintai banyak wanita ini. Jangan nangis hanya karena
cinta! Cemen kamu! Sudahlah, diluar sana masih banyak orang yang mencintaimu
apa adanya” intinya aku akan terus berusaha membesarkan hatinya, melihatkan
kemungkinan-kemungkinan positif dan membukakan matanya untuk melihat dunia yang
begitu luas ini agar dia bisa berpikir lebih dewasa dan tidak mudah menyerah
menghadapi hidup hanya karena gara-gara cinta, Hal absurd yang tak pernah aku
pahami.
Aku hanya bisa diam. Membesarkan hatinya dengan
kediamanku dan menerima takdirku untuk selalu mengikuti gerakannya. Mulutku
hanya sepenuhnya berbicara seperti apa yang dia bicarakan dan semua anggota
tubuhku mengikuti apa yang dia lakukan. Aku seperti boneka namun aku bukanlah
boneka dan maksud hati itu tak pernah bisa kuucapkan dengan mulutku sendiri. Setelah
puas dia mencurahkan segala keping luka dan masalahnya kepadaku, setelah air
matanya telah kering hanya karena cinta yang tak berguna itu akhirnya dia lelah
juga. Dia mulai menatapku tajam dan pandangan kita baradu pada satu titik dalam
sebuah kornea mata yang perlahan membesar. Aku bisa merasakan syaraf-sayaraf
otaknya yang menjalar begitu kuat seperti memikirkan sesuatu kemudian perlahan
mengendor. Dia menundukkan kepalanya untuk merenung kemudian menatap mataku
kembali menatap tubuhku ini yang selalu menjadi dia, selalu menjadi kamu atau
siapapun yang ada didepanku.
Aku adalah bayangannya, bayangan kamu dan bayangan
siapa da apa saja yang ada didepanku. Bagi dia aku adalah mozaik kehidupan yang
selalu mengimpulsifkan sinyal-sinyal penyadaran. Aku adalah benda dan aku
adalah bayangan siapa saja. Bayangan yang selalu memberikan semangat,
memberikan penyadaran atau bahkan bisa menanamkan pikiran buruk kepada setiap
orang yang berpikir buruk. Aku mengirimkan semua sinyal motivasi, kesadaran
atau bahkan pikiran buruk itu kepada setiap orang yang sedang berpikir buruk
dengan kediamanku, karena aku adalah mozaik impulsif kehidupan bagi siapa saja
yang menganggapku bisa mempengaruhi pikiran manusia meski fungsi utamaku hanya
untuk bercermin belaka. Aku adalah mozaik impulsif. Aku adalah bayangan semua
orang dan aku hanyalah sebuah cermin besar yang ada dalam kamar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar